SESUAI
ketentuan regulator pendidikan (kemendiknas dan pemda) bahwa pendidikan
di tingkat sekolah dasar bebas uang sekolah alias gratis, tetapi di
lapangan tidak bebas dari pungutan.
Sudah jadi rahasia umum bahwa orang tua (ortu) murid selalu dikenakan
ketentuan biaya tambahan dengan dalih macam-macam. Memang pungutan itu
secara resmi ditentukan secara musyawarah melalui komite sekolah atau
persatuan ortu murid, tetapi semangat yang dibangun dalam pertemuan itu
adalah berupaya mencari pemasukan dari semua ortu.
Pendidikan yang baik memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi dalam musyawarah itu selalu saja membebankan biaya kepada ortu dan tidak pernah secara kreatif mencari sumber-sumber dana lain seperti kerjasama dengan pihak industri. Jika kegiatan ini dilakukan tentu tidak akan banyak membebani ortu, terutama mereka yang kurang mampu membayar pungutan.
Bukan rahasia umum lagi bahwa dunia pendidikan kita sangat mudah dijadikan obyek bisnis bagi sebagian orang. Ini terlihat mulai dari menjamurnya bimbingan belajar (tes), uang masuk sekolah yang selangit, hingga digantinya buku-buku pelajaran dengan yang baru.
Semua itu tentu menjadi beban murid (orangtua) unruk membelinya. Pihak sekolah atau Kementerian Pendidikan seolah menutup mata akan beban orang tua atas biaya cukup besar saat mereka memasukkan 'buah hatinya' ke sekolah.
Sekolah seolah menutup telinga atas berbagai 'teriakan' dan keluhan orang tua terhadap banyaknya punglimi (pungutan liar tapi resmi) itu. Seperti biasa tentu pemangku kebijakan dan pihak penyelenggara pendidikan selalu siap dengan berbagai dalih jitu yang dapat dianggap sebagai pembenaran munculnya 'proyek' bisnis tersebut.
Alhasil, masyarakat miskin di negara kita makin trauma dan stres jika memasukkan anaknya ke sekolah karena biaya yang terus membengkak.
Kurangnya empati terhadap penderitaan rakyat merupakan fenomena yang (sudah biasa) terlihat pada sebagian kalangan berkuasa di negeri ini (pejabat) tatkala mengeluarkan kebijakan yang tidak bijak itu. Inilah pemandangan yang akrab kita lihat di berbagai sektor kehidupan.
Semua sektor kehidupan di masyarakat pun akhirnya nyaris ikut meniru atau 'mengcopy paste' nyaris sempurna mentalitas buruk si penguasa yang tidak empatik tersebut. Jadilah, sektor pendidikan melalui kalangan yang memiliki wewenang "mengatur" kegiatan pendidikan turut berperilaku tidak empatik atas penderitaan rakyat miskin.
Lebih jauh lagi,anggota komite sekolah yang berasal dari unsur orang tua umumnya berasal dari status sosial ekonomi menengah ke atas biasanya juga ikut-ikutan menyetujui apa yang diajukan pihak sekolah. Lengkaplah sudah sikap dan perilaku yang tidak memihak rakyat miskin dalam dunia pendidikan kita.
Penyelenggaraan pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah sesuai amanah konstitusi RI kita, seakan dibiarkan "go public" alias mengikuti selera pasar bak pebisnis memanfaatkan peluang bisnisnya. Inilah salah satu efek dari apa yang dinamakan tata pandang neolib dalam pendidikan suatu paham yang membiarkan pendidikan mengkuti mekanisme pasar bebas. Pendidikan kita sangat kapitalistik, mereka mengandalkan dana, modal, uang atau kapital.
Orang kaya silakan maju dan menikmati pendidikan, orang miskin silahkan mundur dan tergusur. Inilah kondisi runyam pendidikan kita dewasa ini yang tak patut dijadikan contoh bagi generasi penerus pemerintahan.
Pendidikan yang baik memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi dalam musyawarah itu selalu saja membebankan biaya kepada ortu dan tidak pernah secara kreatif mencari sumber-sumber dana lain seperti kerjasama dengan pihak industri. Jika kegiatan ini dilakukan tentu tidak akan banyak membebani ortu, terutama mereka yang kurang mampu membayar pungutan.
Bukan rahasia umum lagi bahwa dunia pendidikan kita sangat mudah dijadikan obyek bisnis bagi sebagian orang. Ini terlihat mulai dari menjamurnya bimbingan belajar (tes), uang masuk sekolah yang selangit, hingga digantinya buku-buku pelajaran dengan yang baru.
Semua itu tentu menjadi beban murid (orangtua) unruk membelinya. Pihak sekolah atau Kementerian Pendidikan seolah menutup mata akan beban orang tua atas biaya cukup besar saat mereka memasukkan 'buah hatinya' ke sekolah.
Sekolah seolah menutup telinga atas berbagai 'teriakan' dan keluhan orang tua terhadap banyaknya punglimi (pungutan liar tapi resmi) itu. Seperti biasa tentu pemangku kebijakan dan pihak penyelenggara pendidikan selalu siap dengan berbagai dalih jitu yang dapat dianggap sebagai pembenaran munculnya 'proyek' bisnis tersebut.
Alhasil, masyarakat miskin di negara kita makin trauma dan stres jika memasukkan anaknya ke sekolah karena biaya yang terus membengkak.
Kurangnya empati terhadap penderitaan rakyat merupakan fenomena yang (sudah biasa) terlihat pada sebagian kalangan berkuasa di negeri ini (pejabat) tatkala mengeluarkan kebijakan yang tidak bijak itu. Inilah pemandangan yang akrab kita lihat di berbagai sektor kehidupan.
Semua sektor kehidupan di masyarakat pun akhirnya nyaris ikut meniru atau 'mengcopy paste' nyaris sempurna mentalitas buruk si penguasa yang tidak empatik tersebut. Jadilah, sektor pendidikan melalui kalangan yang memiliki wewenang "mengatur" kegiatan pendidikan turut berperilaku tidak empatik atas penderitaan rakyat miskin.
Lebih jauh lagi,anggota komite sekolah yang berasal dari unsur orang tua umumnya berasal dari status sosial ekonomi menengah ke atas biasanya juga ikut-ikutan menyetujui apa yang diajukan pihak sekolah. Lengkaplah sudah sikap dan perilaku yang tidak memihak rakyat miskin dalam dunia pendidikan kita.
Penyelenggaraan pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah sesuai amanah konstitusi RI kita, seakan dibiarkan "go public" alias mengikuti selera pasar bak pebisnis memanfaatkan peluang bisnisnya. Inilah salah satu efek dari apa yang dinamakan tata pandang neolib dalam pendidikan suatu paham yang membiarkan pendidikan mengkuti mekanisme pasar bebas. Pendidikan kita sangat kapitalistik, mereka mengandalkan dana, modal, uang atau kapital.
Orang kaya silakan maju dan menikmati pendidikan, orang miskin silahkan mundur dan tergusur. Inilah kondisi runyam pendidikan kita dewasa ini yang tak patut dijadikan contoh bagi generasi penerus pemerintahan.
0 komentar:
Posting Komentar