F-5E Tiger II : Macan Angkasa Andalan Skadron 14
Kamis pagi, 27 April 2000, dua F-5E Tiger TNI-AU segera mengudara setelah mendapat kode “scramble” dari menara pengawas. Dengan cepat kedua jet tempur itu melejit menuju area di sekitar pulau Roti, Timor Barat. Tak berapa lama, pada ketinggian 29 ribu kaki, mereka menemukan apa yang dicari, satu gugus terbang yang terdiri dari lima pesawat: Satu pesawat tanker udara, diikuti empat F/A-18 Hornett di belakangnya, milik angkatan udara Australia (RAAF) dari Skadron 75. Itu diketahui dari identitas di ekor pesawat.
Gugus terbang itu ditangkap satuan radar sejak berjarak 120 mil laut dari Kupang. Tak ada keterangan apapun mengenai gugus terbang itu, tak juga ada ijin melintas wilayah udara Indonesia yang diterima pihak Pangkalan Udara El Tari, Kupang. Karenanya, gugus terbang itu dianggap blackflight, penerbangan tak dikenal, dan harus dicegat. Untuk itulah dua jet tempur berjuluk “Tiger” ini diterbangkan.
Suasana sempat tegang, karena pilot Tiger tak bisa berkomunikasi lewat radio dengan pilot Hornett. Bukan tak mungkin itu akan memicu konflik. Kalau terpaksa harus duel, bagaimana jadinya dua Tiger yang kalah jumlah, harus menghadapi empat Hornett RAAF yang lebih canggih. Pada saat itu, kedua pilot Tiger TNI-AU mencoba mendekati Hornett sampai kontak visual bisa dilakukan.
Ketika itulah, pilot-pilot F-5E melihat pilot Hornett memberi isyarat mengangkat tangan, tanda mereka tak bersenjata. Dengan bahasa tarzan juga, pimpinan penerbangan Hornett, yang diketahui berangkat dari Lanud Tindall, Australia, memberi tahu mereka sudah mendapat clearance untuk lewat wilayah udara Indonesia. Tujuannya adalah Singapura. Suasana pun mencair, kedua belah pihak saling memberi hormat. Sesuai aturan internasional, kedua Tiger tetap mengawal gugus terbang RAAF itu, hingga masuk jalur internasional, menuju Paya Lebar, Singapura.
Macan Kecil
Dua F-5E Tiger II yang menyergap rombongan Hornett tadi berasal dari Sakdron Udara 14, yang berpangkalan di Lanud Iswahyudi, Madiun. Mereka saat itu tengah ditempatkan di Kupang, untuk mendukung tugas patroli dan pengamanan wilayah udara Indonesia di kawasan Timur. Skadron Udara 14 mendapat 12 unit F-5E Tiger II yang berkursi tunggal, dan 4 F-5F berkursi ganda pada tahun 1980 silam, seiring dengan revitalisasi kekuatan udara Indonesia, yang sempat gembos pasca berakhirnya hubungan mesra dengan Soviet.
Jet-jet tempur berhidung lancip ini, sebenarnya lumayan populer dan banyak digunakan di negara-negara Eropa, Timur Tengah, dan Asia. Terutama negara-negara sahabat AS. Karena memang, pesawat ini dilahirkan untuk memenuhi kebutuhan pesawat tempur negara-negara sekutu AS dalam NATO dan SEATO. Di tanah kelahirannya sendiri, jet buatan pabrikan Northrop ini malah tak begitu banyak digunakan.
Northrop mendesain pesawat ini berdasarkan hasil studi kebutuhan militer di Eropa dan Asia. Dari studi itu, paling tidak adasejumlah faktor yang harus dipenuhi. Antara lain, pesawat tersebut harus cukup canggih dan tak ketinggalan jaman. Artinya, jet perang itu harus bisa terbang supersonik. Harus murah, dengan menimbang kemampuan keuangan negara-negara (calon) pemakai, yang sebagian besar perekonomiannya belum kuat. Mesti mudah pula dioperasikan dan mudah dirawat.
Pada 1955, Northrop mengajukan konsep jet tempur ringan modern ke pihak Angkatan Udara AS (USAF). Penempur supersonik itu, didesain sebagai jet tempur untuk serang darat (air to ground role), sebagai bagian dari misi penyerbuan. Murah harganya,mudah pengoperasiannya, mampu take-off dan landing di landasan pendek, serta mudah perawatan. Tapi USAF menolak proposal itu. USAF tak butuh burung besi seperti itu.
Tujuh tahun kemudian, tahun 1962, jet tempur ringan ini barulah mendapat tempat. Departemen Pertahanan AS di bawah pemerintahan Presiden Kennedy, memilih pesawat ini untuk program MAP (Military Assistance Program), program bantuan militer AS kepada sekutu-sekutunya di NATO dan SEATO. Prototipe berkode N-156, yang terbang pertama kali pada July 1959 itu, mulai diproduksi pada tahun 1963. Northrop memberi nama penempur mungil yang lincah ini F-5A Freedom Fighter, si Pejuang Kebebasan. Versi tempat duduk ganda, yang berfungsi sebagai pesawat latih, diberi kode F-5B.
Bagian badan (fuselage) pesawat perang ini langsing, dengan hidung yang runcing panjang. Mirip dengan ikan todak. Bentang sayapnya yang pendek, nampak seperti tidak proporsional dengan bodynya yang panjang singset seperti itu. Namun jangan tanya soal kemampuan. Freedom Fighter bisa melejit dengan kecepatan 1,4 Mach di ketinggian 36 ribu kaki, berkat dorongan sepasang mesin J85-GE-13 Turbo Jet, buatan General Electric, mesin kecil berdaya dorong besar. Mampu mencapai ketinggian terbang 50.500 kaki. Mampu menjangkau jarak 1.387 mil dengan tanki penuh, sementara radius tempur dengan perlengkapan penuh, mencapai 195 mil. Atau dengan tanki penuh plus dua bom, mencapai 558 mil.
Jet supersonik mungil ini mampu bermanuver dengan lincah, bisa menggendong dua rudal udara ke udara AIM-9 Sidewinder di ujung sayapnya (wingtip). Lima cantelan di sayap dan badan, mampu menggendong beban 6200 pounds. Bisa berupa tangki cadangan, bom, misil udara ke darat, serta 20 roket. Di moncongnya yang mancung, dipasangi sepasang kanon 20 mm jenis M39 dengan 280 putaran. Tapi sebagai pesawat yang didesain untuk serang darat, kemampuan tarung udaranya (air to air) memang terbatas.
Kehandalan jet yang sejatinya untuk negara-negara kelas dua itu, tak ayal menarik perhatian USAF juga. Pada 1965 mereka meminjam 12 unit Pejuang Kebebasan dari stok MAP, untuk uji coba di palagan Vietnam, yang menjadi kancah jet-jet buatan Rusia, semacam Mig-15, Mig-17, dan yang paling gres, Mig-21 unjuk kebolehan. Program itu diberi kode nama “Skoshi Tiger”, alias “Little Tiger” (macan kecil). Sejak itulah, F-5 mendapat julukan baru, Tiger, alias si macan. Kelak, nama itulah yang terus melekat, menggeser julukan Pejuang Kebebasan.
Berbarengan dengan produksi F-5A/B untuk negara-negara pemesan, Northrop melakukan proyek peningkatan kemampuan si Macan Kecil. Airframe dimodifikasi, sehingga bagian fuselage menjadi lebih besar, sehingga tankinya juga bisa diperbesar. Dengan demikian, daya angkut bahan bakar juga lebih banyak, bisa terbang lebih lama dan lebih jauh. Dengan tanki serta dua rudal side wider di wingtip-nya, punya radius tempur 656 mil. Jarak jangkau maksimalnya menjadi 1.543 mil.
Bagian sayap juga dipermak, menjadi lebih besar, dan ditambahi sirip sayap (flap) yang bisa diatur dalam empat moda, yang membuatnya punya sudut serang (angle of attack) lebih baik, lebih lincah bermanuver, terutama pada kecepatan tinggi. Sepasang mesinnya ikut di-upgrade, dengan J85-GE-21 Turbojet yang lebih digdaya. Ini membuat Tiger baru ini mampu melesat dengan kecepatan maksimum 1,6 mach, atau 1,5 mach dengan ujung sayap (wingtip) dicanteli rudal AIM-9 Side Winder. Terbangnya juga lebih tinggi, mencapai 51.800 kaki. Sebagai perbandingan, jet baru yang diberi kode F-5A-21 ini punya kemampuan menanjak meningkat 23% lebih baik dibanding Tiger lama, kemampuan beloknya meningkat 17%, radius putar meningkat 39%.
Tak hanya airframe, jeroannya juga di-upgrade. Sisi avionik Hoffman Electronics AN/ARN-56 TACAN, Magnavox AN/ARC-50 UHF, AN/APX-72 IFF/SIF, automatic UHF DF, AN/AIC-18 intercom, SST-181 X-band Skyspot radar transponder, dan solid-state attitude and heading reference system terbaru. Perangkat radar dari Emerson Electric AN/APQ-159 berkemampuan mencium jejak musuh dalam jarak23 mil, juga menambah kesaktian Tiger baru ini. Untuk fire control, dipasanglah jendela bidik optikal AN/ASG-31 yang terintegrasi dengan radar penjejak.
Hasil pengembangan ini adalah, Tiger baru yang lebih sakti untuk tarung udara. Cocok digunakan untuk misi meraih keunggulan udara (air superiority). Northrop membaptis jet baru ini dengan kode F-5E Tiger II. Versi tempatduduk gandanya diberi kode F-5F. Pesawat inilah yang kemudian memenangkan tender dari USAF untuk program IFA (International Fighter Aircraft), pada tahun 1970. Mengalahkan pesaingnya dari Ling-Temco-Vought dengan V-1000, yang merupakan pengembangan dari F-8 Crusade, Lockeed dengan CL-1200 Lancer, yang dikembangkan dari F-104 Starfighter, serta McDonnel Douglas, yang mengajukan versi modifikasi Phantom. Proyek ini diadakan untuk mengantisipasi ancaman –pada era perang dingin—jet musuh, yang dalam andalan Soviet, Mig-21 Fishbed. Tiger II dianggap cocok untuk meladeni Fishbed, yang ketika itu berstatus jet tempur paling mutakhir milik blok Timur.
Seiring dengan mulai produksinya Tiger II, maka era Tiger I, si Macan Kecil pun berakhir sudah. Produksinya dihentikan pada tahun 1972. Sesuai tujuan penciptaannya, Tiger II mulai memperkuat kekuatan udara negara-negara sekutu AS. Beberapa negara memesan Tiger II dengan tambahan atau perubahan peralatan. Dan memang Northrop menyediakan opsi bagi pemesannya untuk membuat F-5E sesuai keinginan negara pemesan. Misalnya perangkat radio dan avionik yang lebih modern. Bisa pula dipesan dengan kelengkapan chaff/flare (pengalih rudal). Beberapa versi, dilengkapi dengan kemampuan pengisian BBM di udara, seperti F-5E yang dimiliki angkatan udara Singapura.
Bahkan, beberapa negara pemesan, seperti Iran dan Arab Saudi, menginginkan F-5E mereka didesain punya peran utama sebagai jet serang darat. Untuk keperluan itu, dibuat varian F-5E yang dilengkapi sistem LATAR (laser-augmented target acquisition and recognation) –sistem laser pemandu tembakan ke sasaran darat. Varian ini juga dibekali kemampuan menggendong AGM-65 Maverick, rudal udara ke darat.
Sejumlah F-5E juga dibuat di beberapa negara berdasarkan lisensi dari Northrop. Swiss memproduksi 90 unit, Korea Selatan membuat 68 unit, dan Taiwan memproduksi 380 unit. Northrop sendiri memproduksi 792 F-5E (kursi tunggal), 140 F-5F (kursi ganda), dan 12 RF-5E (versi pengintaian udara/recon).
Indonesia mendatangkan 12 F-5E dan 4 F-5F versi standar pada tahun 1980 silam, lewat program Foreign Military Sales (FMS). Penempur yang masih gres itu datang dari pabrik Northrop dalam bentuk terurai, dalam dua tahap. Tahap pertama pada bulan April dan tahap kedua pada bulan Juli. Perakitan dilakukan di hanggar Lanud Iswahyudi, Madiun, yang nantinya jadi markas kawanan Macan udara itu. Tiger II resmi digunakan pada Mei 1980, masuk Skadron Udara 14 Buru Sergap, di bawah Wing Operasional 300, menggantikan F-86 Avon Sabre, yang sudah uzur. Peresmiannya, ketika itu, dilakukan oleh Menhamkan Pangab Jenderal M. Yusuf.
Upgradable
Saat ini, banyak Tiger II yang sudah pensiun dari operasional. Namun, tetap banyak juga yang masih membelah langit. Maklum, meski sudah terbilang “tua”, jet tempur generasi ketiga ini biar bagaimanapun masih bisa diandalkan sebagai alat penjaga kedaulatan langit. Apalagi bila kemampuannya ditingkatkan (up-grade), serta peralatannya dimodernisasi. Seperti yang dilakukan Singapura, dengan memodernisasi dan mendesain ulang armada F-5E milik mereka, dengan radar baru FIAR Grifo-FX Band, buatan Galileo Avionica. Kokpit didesain ulang, menjadi lebih modern, dengan display multi fungsi, serta menambah kemampuan untuk menembakkan rudal udara ke udara AIM-120 AMRAAM dan Rafael Phyton, jenis rudal yang masuk kategori BVR (beyond visual range).
Thailand juga memodernisasi sejumlah F-5E mereka, yang dilakukan di Israel, sehingga bisa menggendong rudal Phyton III dan IV, diintegrasikan dengan helm DASH, sehingga pilotnya bisa mengunci sasaran hanya dengan menoleh ke arah sasaran. Upgrade yang dikerjakan oleh Israel ini, menghasilkan varian yang diberi nama F-5T Tigris. Varian ini tak memiliki kemampuan menembak misil BVR.
Indonesia juga sebenarnya tak ketinggalan, dengan melakukan upgrade pada armada Tiger II Skadron 14 lewat program MACAN (Modernize of Avionics Capabilities for Armament & Navigation), yang dikerjakan perusahaan Belgia SABCA. Program yang dilakukan pada tahun 1995 ini, bertujuan untuk meningkatkan kemampuan elektronik dan persenjataan, agar setidaknya kemampuan F-5E Tiger II bisa setara dengan kemampuan F-16 Fighting Falcon, jet tempur generasi empat yang masuk kekuatan udara Indonesia pada tahun 1989 silam.
Upgrade itu meliputi pemasangan GEC-Marconi Avionics HUD/WAC, dan Sky Guardian RWR. Sistem komputerisasi juga ditingkatkan dengan sistem air data computer mutakhir. Peningkatan dilakukan juga pada stores management system, HOTAS control, dan MIL-STD 155eB databus. Radar APG-69 (V) 3 yang sudah lawas, diganti dengan radar (V) 5 standar. Makanya, meski kalah mutakhir dari Hornett –yang notabene perancangannya banyak mengadopsi platform dari F-5E—Macan-macan udara dari Skadron 14 masih sanggup mengejar, dan menggertak Hornett Australia dalam insiden Pulau Roti. Macan Skadron 14 mampu membuktikan fungsinya sebagai skadron buru sergap.
Namun sekarang, dari 16 unit F-5E/F yang ada, lebih dari separuhnya tak bisa menjelajah langit, alias tak siap operasional. Seretnya suku cadang, minimnya anggaran (perawatan), ditambah dampak embargo senjata yang pernah diterapkan AS, membuat Macan-macan udara kita terpaksa lebih banyak ngendon di hanggarnya. Bahkan satu Tiger II, pernah bertahun-tahun tersandera di Amerika, dan baru bisa diambil pulang ketika embargo mulai dicabut. Pesawat itu tadinya dalam program perbaikan. Namun dengan adanya embargo senjata, AS tak mengijinkan pesawat itu diserahkan kembali ke Indonesia.
Kondisi ini memang sungguh memprihatikan. Mengingat kekuatan penuh macan-macan angkasa itu sebenarnya masih sangat diperlukan untuk menjaga kedaulatan langit Indonesia, yang sangat luas itu. (Aulia Hs)
Spesifikasi:
Awak: 1 (F-5E), 2 (F-5F)
Panjang: 47 ft 4¾ in (14.45 m)
Bentang sayap: 26 ft 8 in (8.13 m)
Luas sayap: 186 ft² (17.28 m²)
Tinggi: 13 ft 4½ in (4.08 m)
Berat Kosong: 9,558 lb (4,349 kg)
Max takeoff weight: 24,664 lb (11,187 kg)
Mesin: 2× General Electric J85-GE-21B turbojet
Daya dorong: 3,500 lbf (15.5 kN) per mesin.
Daya dorong dengan afterburner: Masing-masing 5,000 lbf (22.2 kN)
Kapasitas tangki internal: 677 US gal (2,563 L)
Kapasitas tangki eksternal: 275 US gal (1,040 L) per tanki, mampu membawa hingga 3 tanki
Performance
Kecepatan maksimum: 917 kn (1,060 mph, 1,700 km/jam, mach 1.6)
Jangkauan: 760 nmi (870 mi, 1,405 km)
Jangkauan maksimum: 2,010 nmi (2,310 mi, 3,700 km[40])
Ketinggian maksimum: 51,800 ft (15,800 m)
Kecepatan menanjak: 34,400 ft/min (175 m/detik)
Persenjataan:
Gun: 2× 20 mm (0.787 in) Pontiac M39A2 cannons in the nose, 280 rounds/gun
Hardpoints: 7 total (3× wet): 2× wing-tip AAM launch rails, 4× under-wing & 1× under-fuselage pylon stations holding up to 7,000 lb (3,200 kg) of payload.
Rockets:
2× LAU-61/LAU-68 rocket pods (each with 19× /7× Hydra 70 mm rockets, respectively); atau
2× LAU-5003 rocket pods (each with 19× CRV7 70 mm rockets); atau
2× LAU-10 rocket pods (each with 4× Zuni 127 mm rockets); atau
2× Matra rocket pods (each with 18× SNEB 68 mm rockets)
Rudal:
Air to Air:
4× AIM-9 Sidewinders atau
4× AIM-120 AMRAAMs
Udara ke darat:
2× AGM-65 Mavericks
Bombs:
Aneka bom udara-darat semacam bom tanpa pemandu Mark 80 series (termasuk 3 kg and 14 kg practice bombs), CBU-24/49/52/58 cluster bomb munitions, napalm bomb canisters dan M129 Leaflet bom.
Avionics
AN/APQ-153 radar pada F-5E generasi awal
AN/APQ-159 radar pada F-5E generasi akhir
→ 16 Comments
Posted in Jet Tempur
MiG-17 Fresco: Si Perontok Phantom
Berbagai spekulasi memang merebak di balik insiden yang mencoreng AURI tersebut. Yang jelas, Letnan Daniel memang sudah merencanakan aksi nekatnya itu. Ia bahkan sudah menetapkan target dan jalur pelarian. Begitu lepas landas dari bandara Kemayoran, ia membawa pesawatnya memutar menuju Plumpang, mencoba menembak depot minyak milik Shell, setelah itu banting setir ke kanan menuju Istana Merdeka. Dari sana, Daniel ngebut ke Bogor untuk memberondong Istana Bogor, baru kemudian kabur ke arah Garut. Ia mendarat darurat di pesawahan di daerah Kadungora, Garut, untuk tak lama kemudian ditangkap aparat keamanan.
Meskipun gagal meledakkan depot minyak Shell, serta hanya menyebabkan lecet tak berarti di Istana Merdeka, dan menuai cercaan, tapi banyak kalangan penerbang mengakui bahwa aksi itu hanya bisa dilakukan oleh pilot brilian, mengingat tingkat kesulitan manuver-manuver yang harus dilakukannya. Sekaligus juga sebagai ajang pembuktian kemampuan manuver MiG-17F Fresco, yang disebut-sebut sebagai penempur lincah ini.
Tapi ironis juga, mengingat Fresco yang masuk jajaran AURI tersebut adalah pesawat gres yang baru didatangkan dari Uni Soviet dalam rangka persiapan Operasi Trikora, operasi pembebasan Irian Barat dari cengkeraman Belanda. Alih-alih menunjukkan kehebatannya dalam Palagan Irian, yang tak kesampaian karena konflik akhirnya diakhiri di meja diplomasi, justru Fresco unjuk gigi menembaki Istana sendiri.
Fresco termasuk di antara jajaran pesawat tempur modern (pada saat itu) yang pernah dimiliki angkatan udara Indonesia. Datang dalam satu paket bersama MiG-15 Fagot, MiG-21 Fishbed, Tu-16 dan lain-lain, sebagai hasil hubungan mesra Indonesia dengan Uni Soviet. Mulai masuk AURI pada 1960 dan pensiun pada 1969, usia operasional yang sangat singkat untuk sebuah jet tempur.
Kelahiran Fresco
MiG-17 yang oleh pihak NATO dijuluki “Fresco” dibuat oleh Mikoyan-Gurevich, salah satu pabrikan pesawat perang tersukses di Uni Soviet. Pesawat yang dirancang sebagai fighter ini, merupakan penyempurnaan dari pendahulunya, MiG-15 Fagot. Dari bentuk dan spesifikasi, nyaris semuanya mirip dengan “kakak”nya itu. Kecuali semacam sirip kecil yang membelah sayap. Pada Fagot, sirip itu hanya dua, sementara di Fresco ada tiga.
Kelahiran jet tempur berkecepatan subsonik ini, sedikit banyak juga dipicu dengan kehandalan F-86 AVON Sabre, buatan Amerika, yang jadi seteru bebuyutannya Soviet. Pada perang Korea, terbukti Sabre lebih ampuh dan mampu mengatasi kegesitan MiG-15. Belajar dari kekurangan MiG-15 itulah, kemudian Soviet mulai merancang Fresco.
Pada dasarnya, pesawat ini dirancang sebagai pesawat penempur (fighter), yang nantinya bakal ditugaskan meladeni penempur-penempur Amerika. MiG-15 sendiri secara struktur aerodinamisnya sebenarnya sudah sangat memenuhi syarat dan sudah teruji kegesitannya di kancah perang udara. Maka itu, dari sisi rancang bentuk aerodinamika, tak banyak pengembangan yang dilakukan. Bahkan mesinnya pun sama-sama menggunakan mesin Klimov VK-1.
Prototipenya yang dinamai SI terbang perdana pada Januari 1950. Dua bulan kemudian, SI mengalami kecelakaan terbang saat uji coba. Itu membuat para insinyur MiG bekerja keras, mengevaluasi kembali titik-titik lemah SI, dan memperbaiki kekurangan tersebut. Hasilnya memuaskan. Prototipe selanjutnya, SI-2, berhasil melalui rangkaian uji terbang. Meski dengan mesin sama, pesawat baru ini terbukti mampu terbang lebih cepat dari pendahulunya, dan memiliki kemampuan manuver jauh lebih baik saat terbang tinggi (high altitude).
Produksi pertama dimulai pada September 1951. Generasi pertama Fresco dirancang sebagai penempur subsonik siang, dan memiliki tiga kanon untuk persenjataannya. Dua kanon NR-23 kaliber 23 mm (100 rounds) serta satu NR-37 kaliber 37 mm (40 rounds). Persenjataan itu ditempatkan di bawah moncong pesawat, persis di bawah air intake. Selain itu, Fresco juga mampu menggendong bom 100 kg, yang dicantelkan di bawah sayapnya. Itu membuat pesawat ini juga bisa berfungsi sebagai fighter-bomber. Namun pada prakteknya, cantelan bom tersebut lebih sering dipakai untuk mengangkut tangki bahan bakar cadangan (external tanks).
Dalam pengembangannya, Fresco memiliki sejumlah varian dengan penambahan kemampuan atau konversi fungsi. Seperti pada varian MiG-17P yang dilengkapi radar Izumrud-1 (RP-1), yang dirancang sebagai pesawat pencegat (interceptor). Varian ini juga dirancang sebagai penempur segala cuaca (all weather fighter). Pengembangan lain melahirkan varian MiG-17F, yang mesin VK-1F nya sudah mengadopsi teknologi afterburner, yang membuat pesawat melejit lebih cepat. Sementara varian MiG-17PM, sudah mampu menggendong empat misil udara ke udara jenis K-5 (AA1-Alkali), tapi konsekuensinya tak punya kanon. Varian ini juga dilengkapi radar pembidik pesawat lawan. Varian lain difungsikan sebagai pesawat pengintai.
Pengalaman Perang
Meski dirancang untuk menandingi F-86 Sabre, toh Fresco tak sempat diterjunkan ke kancah perang Korea di tahun 50-an. Padahal, dalam kancah perang di semenanjung Korea itulah Sabre merajalela, menerkam pesawat-pesawat MiG-15 Korea. Bentrokan antara Fresco dan Sabre, dilaporkan pertama kali terjadi di selat Taiwan. Saat itu, Fresco milik angkatan udara Cina terlibat dule udara dengan F-86 Sabre Taiwan.
Fresco sendiri baru meraih nama harum ketika terjun di palagan udara Vietnam. Dengan joki-joki handal dari VPAF (angkatan udara Vietnam Utara), Fresco menjadi momok menakutkan bagi pilot-pilot angkatan udara maupun angkatan laut Amerika. Padahal, di situ Fresco menghadapi lawan yang jauh lebih modern, semacam F-4 Phantom dan jet serang darat F-105 Thunderchief. Padahal lagi, kedua pesawat andalan Amerika itu punya kelebihan mampu terbang super sonik, sementara Fresco “cuma” pemburu sub-sonik. Namun, pilot-pilot VPAF mampu memaksimalkan kelincahan Fresco, sehingga banyak pesawat Amerika yang rontok dibuatnya. Terutama pada periode awal-awal perang. Top ace VPAF untuk pilot MiG-17 adalah Nguyen Van Bay, yang berhasil merontokkan 7 pesawat Amerika. Di antara pesawat yang dijatuhkan Van Bay, ada satu Phantom dan satu Thunderchief.
Pesawat pencegat yang pernah jadi andalan angkatan udara Blok Timur (Pakta Warsawa) ini, sebagian besar sudah pensiun dari operasional. Namun begitu, masih ada pula negara yang mengoperasikan Fresco hingga kini. Sebagian besar adalah negara-negara Afrika, semacam Sudan, Angola, Mali, dan lain-lain. Korea Utara juga masih mengoperasikan pencegat lincah ini. Sementara Indonesia, sejak akhir 1969 silam sudah memensiunkan Fresco. Kini, sosok Fresco yang bulat terpajang menjadi koleksi museum dirgantara dan menjadi monumen di pangkalan udara TNI-AU. (Aulia Hs)
Spesifikasi:
• Crew: One
• Length: 11.36 m (37 ft 3 in)
• Wingspan: 9.63 m (31 ft 7 in)
• Height: 3.80 m (12 ft 6 in)
• Wing area: 22.6 m² (243.2 ft²)
• Empty weight: 3,930 kg (8,646 lb)
• Loaded weight: 5,354 kg (11,803 lb)
• Max takeoff weight: 6,286 kg (13,858 lb)
• Powerplant: 1× Klimov VK-1F afterburning turbojet, 33.1 kN with afterburner (7,440 lbf)
Performance
• Maximum speed: 1,144 km/h at 3,000 m (711 mph at 10,000 ft (3,000 m))
• Range: 1,080 km, 1,670 km with drop tanks (670 mi / 1,035 mi)
• Service ceiling: 16,600 m (54,500 ft)
• Rate of climb: 65 m/s (12,795 ft/min)
• Wing loading: 237 kg/m² (48 lb/ft²)
• Thrust/weight: 0.63
Armament
• 1x 37 mm Nudelman N-37 cannon (40 rounds total)
• 2x Nudelman-Rikhter NR-23 cannons (80 rounds per gun, 160 rounds total)
• Up to 500 kg (1,100 lb) of external stores on two pylons, including 100 kg (220 lb) and 250 kg (550 lb) bombs or fuel tanks.
Posted in Jet Tempur
Su-27 Flanker : Jagoan Dogfight dari Makassar
Ginanjar yang pensiunan jenderal bintang tiga (Marsekal Madya) TNI-AU, mengemban tugas dari Presiden Soeharto, memilih jet tempur terbaik untuk memperkuat jajaran angkatan udara Indonesia. Maklum, pesawat tempur TNI-AU yang ada sudah banyak yang usang, seperti A4-SkyHawk, OV-10 Bronco. Sementara pesawat yang relatif modern semacam F-16 Fighting Falcon dan F-5E Tiger sebagian besar harus ngendon di darat gara-gara embargo senjata yang diberlakukan Amerika.
Ketika itu pemerintah AS memang memberlakukan embargo senjata kepada Indonesia, yang dianggap kurang memperhatikan HAM dan proses demokrasi. Makanya, rencana awal membeli sejumlah F-16 terpaksa batal, karena senat AS tak memberi ijin. Jangankan membeli pesawat baru, pasokan suku cadang pun dihentikan. Itu yang membuat jet-jet buatan Amerika itu tak bisa terbang.
Setelah timbang sana timbang sini, pilihan dijatuhkan pada Su-27, pesawat tempur multi guna mutakhir yang menjadi andalan angkatan udara Rusia. Sebenarnya ada alternatif lain, seperti Mirage 2000 buatan Perancis, atau JAS Grippen buatan Swedia. Tapi pesawat buatan Eropa ini harganya mahal, lagipula agak sulit membelinya di tengah tekanan AS, yang merupakan sekutu Perancis dan Swedia ini. Sementara Sukhoi lebih murah. Bahkan setelah nego, pesawat-pesawat canggih itu bisa dibayar sebagian besar dengan sembako (barter).
Dari Rusia sendiri pilihan sebenarnya ada dua, MiG-29 Fulcrum dan Su-27 Sukhoi. Dua pabrikan itulah yang dikunjungi Ginanjar dan tim. Seorang rekan wartawan yang menyertai rombongan Ginanjar menggambarkan, pusat produksi MiG sepintas lalu tak beda dengan bengkel mobil. Sulit membayangkan bahwa di sanalah jet-jet tempur mutakhir dilahirkan. Sementara pabrik Sukhoi, kata dia, mendinganlah.
Frontline Fighter
Sejarah Su-27 diawali pada tahun 1969. Ketika itu, Uni Soviet yang terlibat perang dingin dengan AS, mengendus bahwa rivalnya itu tengah mengembangkan jet tempur mutakhir. Proyek yang dinamakan Fighter Experimental Design itu digarap oleh pabrikan McDonnel Douglas. Misinya adalah melahirkan jet tempur serba bisa, sadis pada duel udara, ganas sebagai pencegat, dan trengginas untuk mendukung serangan darat. Dari proyek itulah kelak muncul jet tempur jempolan angkatan udara AS, F-15 Eagle.
Mengantisipasi hal itu, Soviet segera membentuk program PFI (perspektivnyi frontovoy istrebitel, Advanced Frontline Fighter), program pengembangan pesawat untuk menandingi jet tempur baru Amerika. Dalam perjalanannya, proyek ini dipecah dua, dengan pertimbangan efisiensi biaya. Yang satu menjadi LPFI (Lyogkyi PFI, atau Lightweight PFI), yang di kemudian hari melahirkan jet tempur taktis jarak pendek MiG-29 Fulcrum. Satunya lagi adalah TPFI (Tyazholyi PFI/Heavy PFI). Untuk kategori frontline fighter kelas berat itu, dipercayakan kepada Sukhoi OKB (Biro Desain Sukhoi), yang kelak berhasil melahirkan Su-27 berikut varian-variannya.
Prototipe jet ini pertama terbang pada Mei 1977. Tentu saja kemunculannya sangat dirahasiakan. Namun, tetap saja tak luput dari pengintaian satelit mata-mata AS, ketika terbang di Zhukovsky Flight Test Center, yang berada di dekat kota Ramenskoe. Pihak AS yang memberi kode RAM-K (diambil dari Ramenskoe) untuk pesawat prototipe ini, menggambarkan bahwa jet tempur tersebut memiliki sayap delta yang lebar, bermesin dua, sirip tegak ganda. Sepintas mirip dengan F-14 Tomcat milik AS. Belakangan, prototipe dengan kode T-10 ini dijuluki “Flanker-A”.
Baru setelah mengalami sejumlah penyempurnaan, SU-27 mulai masuk produksi massal pada 1982 dan resmi masuk jajaran angkatan udara Soviet pada tahun 1984. Su-27 generasi pertama, yang dijuluki “Flanker-B” oleh NATO ini, disalurkan ke departemen pertahanan udara (PVO), sebagai skadron pencegat (interceptor), menggantikan jet-jet lawas semacam Sukhoi Su-15 dan Tupolev TU-28. Sebagian lagi dimasukkan dalam jajaran angkatan udara Soviet (VVS). Meski dirancang sebagai pesawat serba guna, angkatan udara memilih memfungsikan jet tempur mutakhir ini untuk tugas membunuh armada tanker udara dan AWACS blok barat. Petinggi angkatan udara Soviet ketika itu melihat, AWACS dan pesawat tanker adalah aset vital bagi kesuksesan operasi udara blok barat. Dengan mematikan dua aset maha penting itu, dijamin skadron penempur barat tak bakal banyak berkutik.
Penempur Revolusioner
Boleh dibilang Flanker adalah salah satu masterpiece industri pesawat tempur Rusia. Dirancang sebagai pesawat serba bisa, ganas sebagai pencegat (interceptor), trengginas untuk duel udara (fighter), dan mumpuni untuk mendukung serangan darat (air support/attacker). Mampu terbang di segala cuaca, bahkan menembus badai sekalipun. Tetap garang meski diterbangkan di udara kutub yang beku, dan tetap handal saat dioperasikan di suhu lembab dan panas wilayah tropis.
Tak seperti jet-jet tempur Soviet sebelumnya yang umumnya tampak kuno dan kaku, Flanker sudah memiliki bentuk futuristik dan modern. Sudah pula menerapkan teknologi fly by wire dengan kokpit digital. Bodinya sungguh streamline, meski berukuran besar untuk sebuah fighter. Menggunakan sirip tegak ganda, dan sayap luas mirip sayap delta –namun bukan sayap delta. Body Flanker terbuat dari titanium dan aluminium alloy berkekuatan tinggi, sehingga menghasilkan pesawat yang seringan kaleng namun sekokoh baja.
Mesinnya sendiri menggunakan dua Lyulka Saturn AL-31-F Turbofan, yang masing-masing memiliki tenaga dorong 12.550 kg. Mesin ini didesain dan dibuat oleh Lyulka Engine Design Bureau (NPO Saturn). Lubang air intake yang berada di bagian bawah, memiliki jarak lumayan lebar antara satu dengan yang lainnya. Tujuannya, selain alasan faktor safety, juga menambah luas permukaan untuk daya angkat pesawat. Selain, ruang antara dua mesin itu bisa dipakai untuk menggendong persenjataan.
Lubang air intake dilindungi semacam kisi-kisi, untuk mencegah debu dan partikel lain masuk ke mesin. Terutama saat take off dan landing. Sementara lubang sembur jetnya, menggunakan konsep thrust vectoring. Teknologi revolusioner ini memungkinkan arah semburan jet bisa diatur, sesuai dengan pergerakan pesawat. Itu yang membuat Flanker punya kemampuan hebat dalam manuver. Konsep ini kemudian pernah dicoba ditiru Amerika, namun tak sesukses pesaingnya dari Rusia itu.
Karena itulah, Flanker mampu menggendong arsenal dengan total berat 6000 kg. Termasuk di antaranya, 10 misil udara ke udara (AA), yang terdiri dari misil jarak menengah dengan semi active radar homing jenis R-27R1 (NATO menyebutnya AA-10A Alamo-A), misil AA jenis R-27-T1 (AA-10B Alamo-B) yang punya jangkauan 500 m hingga 60 km dan dipandu dengan infrared, serta R-73E (AA-11 Archer) yang berguna untuk pertempuran jarak dekat berpanduan infrared, dan mampu menerkam musuh dari jarak 300 m hingga 20 km.
Sistem pembidian dan penguncian target terintegrasi dengan helm penerbang. Kaca helm mampu menampilkan display layar bidik, dengan sistem look down shot down. Jadi, pilot cukup menoleh ke sasaran, dan sistem radarnya akan mengunci sasaran. Tinggal tekan pelatuk, maka misil Alamo atau Archernya akan melesat mengejar sasaran. Hebatnya lagi, Flanker mampu mengunci sepuluh sasaran sekaligus.
Itu bisa dilakukan karena Flanker didukung dengan sistem radar Phazotron N001 Zhuk coherent pulse doppler radar. Jangkauan radarnya luar biasa, mampu mencium dan melacak target seluas 3 meter persegi yang berada 100 km di depan pesawat, dan 40 km di belakang pesawat. Su-27 menggunakan sistem pembidik infrared search and track (IRST), yang ditempatkan di bagian depan kokpit. Sistem ini terintegrasi dengan sistem laser range finder. Sistem ini bisa digabungkan dengan sistem radar, dan bisa pula bekerja terpisah, apabila pilot hendak melakukan serangan diam-diam (stealth attack).
Sementara untuk menghindari dari bokongan lawan, Su-27 punya perlengkapan countermeasure elektronik, yang mampu memberi peringatan kepada pilot, baik secara individual maupun untuk gugus terbang. Sistem peringatan ini terdiri dari radar peringatan, chaff dan infrared decoy –keduanya perangkat pengalih kejaran misil, dan multi-mode jammer aktif, yang ditempatkan di wingtip.
Sebagai pesawat serba guna, Flanker bisa melejit dengan kecepatan 2.500 km per jam (mach 2,35) pada ketinggian jelajah. Kemampuan menanjaknya 325 meter per detik, atau 64 ribu kaki per menit. Flanker sudah mampu mencapai ketinggian terbang maksimal (18,5 km) dalam waktu kurang dari semenit.
Patukan Cobra
Tapi bukan itu saja yang membuat blok barat ngeri terhadap kemunculan Flanker. Keunggulan utamanya adalah kemampuan manuver yang sangat tinggi, paling tinggi dibanding jet-jet tempur yang pernah ada. Bahkan disebut-sebut sebagai pesawat tempur tak tertandingi untuk urusan tarung udara (dog fight).
Bagaimana tidak, Flanker mampu membuat belokan tajam dengan radius sangat kecil. Dengan mudah melakukan loop (gerakan lingkaran ke atas) dengan radius yang nyaris nol. Pilot bisa dengan enaknya mengendalikan dan meliuk-liukkan pesawat meski dalam kecepatan rendah dan dalam ketinggian rendah. Manuver akrobat semacam Immelman dan split-S dilakukan nyaris tanpa radius putar.
Dan yang paling spektakuler adalah manuver pagutan cobra, atau Cobra Pugachev. Manuver ini kira-kira bisa dijelaskan begini: Pesawat melaju datar, lalu dengan tetap bergerak datar, moncong bengkoknya mulai mendongak, dan terus mendongak hingga sudut 120 derajat (seperti menengadah). Setelah beberapa saat, moncongnya kembali ke posisi awal. Mirip dengan gerakan ular kobra yang siap mematuk. Manuver luar biasa yang diperkenalkan oleh Viktor Pugachev, pilot uji Sukhoi OKB, memberikan sudut serang (angle of attack) sangat besar, yang membuat pesawat lawan hanya punya kemungkinan selamat 1% saja.
Di tangan pilot trampil, Flanker juga bisa digenjot mendaki tegak lurus, lantas pada puncaknya, pesawat seakan-akan berhenti dan mengambang di angkasa. Detik berikutnya, pesawat seperti jatuh (stall), padahal dengan satu gerakan ringan, pesawat sudah kembali ke posisi normal. Kemampuan hebat itu, didapat dari rancangan lubang sembur jet yang dinamakan thrust vectoring. Lubang sembur Flanker bisa bergerak-gerak, mengikuti arah gerakan pesawat. Ditambah dengan rancang aerodinamika yang kompak, membuat Flanker mampu menari-nari di angkasa dengan enteng.
Combat Proven?
Kemampuan manuver yang super hebat itu, di satu sisi memang mengundang decak kagum dan membuat miris kompetitornya. Meskipun di lain pihak, terutama dari kalangan pilot Amerika, menyebut kemampuan manuver seperti itu tak banyak guna di era perang udara modern, yang lebih mengandalkan serangan jarak jauh lewat rudal yang makin akurat mengejar target. Sederhananya: “Silahkan saja Anda meliuk-liuk, toh kami masih bisa mengunci dan menembak Anda dari jauh.”
Pada kasus itu memang membuktikan perbedaan filosofi tarung udara antara blok barat dan Rusia. Pihak Barat, yang lebih mementingkan keamanan dan keselamatan pilot, cenderung mengembangkan pesawat-pesawat yang punya kemampuan mendeteksi, mengunci dan menembak sasaran dari jarak sangat jauh (long range), plus perangkat pengacau elektronik (jamming). Ini untuk mendukung taktik hit and run, atau istilahnya “Fire and Forget”, lepaskan rudal dan biarkan rudal yang mencari sasaran, sementara pilot langsung cikar kanan untuk menghindari dogfight. Sementara Rusia, justru mengembangkan jet-jet yang mampu bertempur jarak dekat. Flanker dan turunannya adalah contoh bagus bagi filosofi ini.
Meski diklaim sebagai petarung udara terbaik saat ini, pada kenyataanya Flanker belum pernah teruji pada medan pertempuran sesungguhnya. Beda dengan kompetitornya, F-15, yang sudah merasai sejumlah kancah tempur. Dan belum pernah kejadian juga Flanker terlibat adu jago sesungguhnya dengan jet-jet saingan dari blok barat.
Duel udara antara Flanker dengan jet-jet NATO semacam F-15 Eagle baru sebatas dilangsungkan di simulator. Pada beberapa simulasi dogfight yang melibatkan Flanker, jet andalan Rusia itu bisa dengan mudah mengungguli lawan-lawannya.
Namun begitu, tercatat Flanker pernah terjun pula di peperangan, meski dalam skala kecil. Pada Februari 1999, skadron Su-27 milik Ethiopia dilaporkan terlibat bentrok dengan kelompok MiG-29 milik Eritrea. Pada insiden itu, lima MiG-29 berhasil dirontokkan Flanker. Pada November 2000, sebuah Flanker milik angkatan udara Angola, ditembak jatuh oleh misil SA-14 darat ke udara yang ditembakkan pasukan UNITA. Yang teranyar adalah keterlibatan Flanker dari angatan udara Rusia dalam perang di Ossetia Selatan pada 2008. Flanker diterjunkan untuk misi menguasai wilayah udara Tskhinvalli, ibukota Ossetia Selatan. Yang jelas, dalam aksi-aksi tempur tersebut, Flanker memang tak berhadapan dengan lawan sepadan.
Buat Indonesia, Flanker adalah pilihan tepat. Secara teknis, Flanker paling pas untuk melakukan misi patroli udara untuk mengcover wilayah Indonesia yang terbentang mencapai 5000 km ini. Jet canggih ini mampu menempuh jarak tempur 3.000 km, tanpa perlu pengisian bahan bakar di udara. Juga cocok untuk digunakan mencegat penyusupan pesawat musuh (interceptor), dengan kemampuan lepas landas dan climbing rate yang fantastis.
Faktor rendahnya biaya operasi serta harganya yang relatif murah dibanding F-16 sekalipun, makin membuat Flanker pilihan ideal untuk memperkuat skadron udara Indonesia.Apalagi, pemerintah Rusia tak keberatan bila jet canggih ini dibayar sebagiannya dengan sembako. Dan tak ada embel-embel embargo pula. Saat ini Indonesia suah memiliki tujuh dari rencana sepuluh unit Flanker, yang terdiri dari dua varian. Yakni, Su-27SK berkursi tunggal dan Su-30MK yang berkursi ganda (bisa digunakan sebagai pesawat latih). (Aulia Hs)